Selasa, 30 September 2014

Analisis Cerpen (Unsur Instrinsik & Ekstrinsik) "Mimpi Anak Jalanan"

Mimpi Anak Jalanan 
Mimpi ku, seorang Bintang, hanya sederhana. Aku tak minta sesuatu yang macam-macam. Aku tak minta rumah mewah, bergelimang harta, dan bukan juga mobil sport macam Lamborghini. Aku hanya ingin, aku dapat merasakan yang namanya mengenyam pendidikan, yang namanya merajut mimpi, yang namanya menggapai cita-cita. Sederhana bukan? Setiap malam, aku selalu mengirim doa pada Yang Maha Kuasa, bersimbah air mata di hadapanNya. Tapi selama sebelas tahun aku terus berdoa, yang isinya itu-itu saja, selama itu pula Allah belum menjawab dan mengabulkan doaku. Mungkin ini bukan takdirku, takdirku hanyalah menjadi seorang pengamen yang bodoh. Tapi itu semua tak membuatku putus asa. Justru membuatku semakin giat berdoa pada Allah.
“Hamba tak ingin menjadi pandai, tapi saat hamba pandai, hamba lupa dengan Mu. Hamba tak ingin menjadi seorang kaya, namun saat hamba kaya iman hamba rusak. Hamba tak ingin sehat, kalau dikala sehat, hamba melupakan nikmat Mu. Hamba tak ingin hidup, tapi saat hamba diberi kesempatan menghirup oksigen, hamba lalai dengan perintah Mu. Kalau memang Engkau belum mengizinkan hamba duduk memperhatikan penjelasan guru, di dalam kelas, tak mengapa, mungkin inilah yang terbaik untuk hamba,” hanya lima kalimat itu yang dapat aku ucapkan usai shalat.
Umurku sudah sebelas tahun, tapi aku belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang kedua orangtua. Belaian lembut seorang Bapak, dan pelukan sayang seorang Ibu. Tak pernah aku mencicipi yang namanya kasih sayang dari orangtua. Aku saja, tak tahu dimana kedua orangtuaku.
Sejak kecil, aku hidup di antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, di antara ketamakan manusia-manusia zaman sekarang. Untuk menghidupi kebutuhanku, aku mencoba mengamen. Kebutuhan hidupku hanya dua, makanan dan minuman. Tak ada gitar, atau kendang, hanya ada tepukan tangan dan jentikan jari yang mengiringi nyanyianku. Sejak pemerintah melarang masyarakat untuk memberikan uang pada pengemis dan pengamen sepertiku, nasibku makin tak karuan. Hidupku semakin kelam. Apakah pemerintah itu tak punya hati. Boleh saja mereka melarang masyarakat untuk memberikan uang untuk aku dan teman-temanku, yang sama-sama mengamen. Dan mereka yang hanya bisa menengadahkan tangan untuk mengemis. Tapi, pemerintah memberikan kami uang yang pantas untuk kehidupan sehari-hari, setidaknya pekerjaan untuk kami. Kalian semua hanya bisa memakan uang rakyat, hanya bisa menyengsarakan nasib kaum lemah. Kalian semakin kaya, hidup mewah serba kecukupan, sementara kami, hidup dalam penderitaan, hidup dalam kekejaman ekonomi, dan hidup jauh dari kalimat sederhana.
Kalau kami tak dapat merasakan nikmatnya hidup dengan uang, setidaknya berikan kami pendidikan yang layak. Kalau kami pintar, toh nantinya bangsa ini yang semakin maju. Mana hati nurani kalian? Apakah tak ada satu sajakah hati yang masih bersih, yang tak ternodai dengan korupsi, yang tak ternodai dengan kemaksiasiatan, yang tak ternodai dengan keserakahan.
Aku cuma rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa. Ingin melawan, kalian mengancam, ingin memberontak, kalian mengelak, ingin marah kalian malah mencemooh.
Akankah keadilan akan datang. Kalian hanya diperkuda jabatan. Kami muak dengan ketidak adilan dan keserakahan. Tolong dengarkan suara rakyatmu wahai pemerintah bi*dab! Dengarkan jeritan marah kami setiap detiknya, jerit marah karena ketidak becusanmu mengurus negeri tanpa kemudi ini. Negeri kelam yang suram. Haruskah yang Diatas mengirimkan bala bencana untuk kalian, barulah kalian sadar akan perbuatan iblis kalian sendiri? Tahukah kalian Indonesia masuk dalam daftar 100 negara termiskin di dunia. Urutan ke 68. Seharusnya kalian malu, menjadi seorang pejabat pemerintah, maupun pejabat negara, namun bangsanya masuk ke dalam daftar negara termiskin.
Hanya satu yang kuminta! Sejahterakanlah rakyatmu. Entah dengan uang, dengan pendidikan yang layak, atau pelayanan sosial yang memuaskan, atau setidaknya engkau berikan kami bahan makanan, sehingga kami tak kekurangan gizi, tidak mengidap malnutrisi. Banyak keluarga kami yang terkena marasmus dan kwasiokor. Penuhi janji-janjimu dulu saat kau akan dipilih oleh kami. Mensejahterakan rakyat, tiada kemiskinan, semua perut rakyat akan kenyang, dijamin semua dapat pekerjaan dan penghasilan yang tetap, pendidikan akan dinomorsatukan, pelayanan umum akan dimaksimalkan, tiada kata korupsi. Itu semua janji manismu. Tapi sekarang, apa yang terjadi? Lebih banyak rakyat yang melarat dari pada yang berkecukupan, rakyat-rakyatmu kelaparan disini, perut kami kosong selama tiga hari, sementara kalian disana kekenyangan dengan makanan mewah berbintang lima yang dibeli dengan uang hasil korup, katamu dulu semua rakyat akan mendapat pekerjaan dan gaji yang tetap, namun hasilnya nihil. Saudaraku sibuk mengais sampah di setiap sudut kota, penghasilannya hanya cukup membeli tiga potong roti, sedangkan tetanggaku sibuk meminta belas kasihan pada para pejalan kaki dengan mengemis. Kalau katamu pendidikan dinomorsatukan, kenapa aku masih mengamen dan bukannya belajar di dalam gedung sekolah. Bukti lain kegagalanmu memimpin Indonesia pelayanan umum yang minus. Tak ada kata Rumah Sakit untuk kami, karena kami tentu tak punya uang untuk membayar biaya Rumah Sakit yang mahalnya selangit. Tiada kata korupsi? Bohong besar. Tiada hari tanpa kata korupsi. Hak-hak milik rakyat kau rampas juga. Dasar PHP! Pemberi Harapan Palsu.
Cerpen Karangan: Maharani Rachmawati Purnomo

Unsur Instrinsik
1.       Tema : Seorang anak jalan yang bermimpi ingin menjadi seorang Bintang
2.       Alur : Maju
      Mimpi ku, seorang Bintang, hanya sederhana. Aku tak minta sesuatu yang macam-macam. Aku hanya ingin, aku dapat merasakan yang namanya mengenyam pendidikan, yang namanya merajut mimpi, yang namanya menggapai cita-cita. Tapi selama sebelas tahun aku terus berdoa, yang isinya itu-itu saja, selama itu pula Allah belum menjawab dan mengabulkan doaku. Mungkin ini bukan takdirku, takdirku hanyalah menjadi seorang pengamen yang bodoh. Tapi itu semua tak membuatku putus asa. Justru membuatku semakin giat berdoa pada Allah. Saat ia selesai sholat, ia selau mengucapkan 5 kalimat saja. Umurku sudah sebelas tahun, tapi aku belum pernah merasakan yang namanya kasih sayang kedua orangtua. Sejak kecil, aku hidup di antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi, di antara ketamakan manusia-manusia zaman sekarang. Kalau kami tak dapat merasakan nikmatnya hidup dengan uang, setidaknya berikan kami pendidikan yang layak. Aku cuma rakyat kecil yang tak bisa berbuat apa-apa. Seharusnya kalian malu, menjadi seorang pejabat pemerintah, maupun pejabat negara, namun bangsanya masuk ke dalam daftar negara termiskin. Hanya satu yang kuminta! Sejahterakanlah rakyatmu.
3.       Penokohan :
      -Anak Jalan : tidak pernah menyerah dan selalu berdoa
4.   Sudut Pandang:
      Akuan
4.       Amanat :
      Teruslah bermimpi, jangan pernah menyerah dan teruslah berusahan dan berdoa!
5.       Latar/Setting:
      Tempat : di antara debu jalanan, di antara gedung-gedung pencakar langit yang tinggi.
      Waktu : Pagi Siang Sore
      Suasana : Mengagumkan
6.       Gaya Bahasa:
      Bahasanya menarik dan sopan

Unsur Ekstrinsik :
1.       Agama :  hanya lima kalimat itu yang dapat aku ucapkan usai shalat.
2.       Moral : Pejabat yang hanya ingkar janji dan tidak ada bukti saat sudah menjabat.
3.       Ekonomi : Hidup seorang anak jalanan yang tidak berkemampuan dalam menjalankan hidup
4.       Pendidikan : seorang anak jalanan yang tidak mendapatkan sebuah pendidikan yang diinginkan anak jalanan

5.       Politik : Pejabat yang mengumbarkan janji

Emy Vidiyati 
XII IPS 1

asal mula terjadinya burung ruai -siti nurhaliza-

“Asal Mula Terjadinya Burung Ruai”
            Konon, pada zaman dahulu terdapat sebuah kerajaan yang kecil, letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Tidak jauh dari kedua gunung tersebut terdapatlah sebuah gua yang bernama Gua Batu, di dalamnya terdapat banyak aliran sungai kecil yang di dalamnya terdapat banyak ikan dan gua tersebut dihuni oleh seorang kakek tua renta yang dikatakan sakti.
            Hiduplah seorang raja yang memerintah sebuah kerajaan dengan tujuh orang putri. Diantara ketujuh orang putri tersebut ada satu orang putri raja yang bungsu atau si bungsu. Si bungsu mempunyai budi pekerti yang baik, rajin, suka menolong dan taat pada orang tua. Lain halnya dengan keenam kakaknya yang mempunyai hati yang jahat, dengki, suka membantah orang tua, dan malas bekerja.
            Singkat cerita, sang ayah yang menjadi pilih kasih terhadap putri-putrinya, membuat keenam kakak si putri bungsu iri hati, dendam, dan sering menyakiti si bungsu. Suatu hari si bungsu diajak oleh keenam kakaknya untuk mencari ikan (menangguk) ke Gua Batu. Karena sangat gembira, si bungsu menerima ajakan tersebut. Padahal dalam ajakan tersebut terselip pembalasan dendam.
            Setelah sampai ke gua batu, si bungsu disuruh masuk terlebih dahulu ke dalam gua, Kemudian diikuti kakak-kakaknya. Si bungsu sudah berada lebih jauh ke dalam gua, namun keenam kakaknya masih berada di muka gua dan mendoakan supaya si bungsu tidak dapat menemukan jejak untuk pulang nantinya. Keenam kakaknya tertawa terbahak-bahak sebab si bungsu benar-benar hilang dari pengelihatannya.
Tanpa terasa, tujuh hari tujuh malam lamanya, si bungsu terjebak dalam gua. Tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat menakutkan di dalam Gua Batu itu. Suara gemuruh menggelegar seperti ingin merobohkan Gua Batu tersebut. Si  bungsu hanya bisa menangis dan menjerit untuk menahan rasa ketakutannya dan munculah seorang kakek tua renta yang sakti di hadapan si bungsu.
Sambil menangis Si bungsu menjawab pertanyaan-pertanyaan si kakek.Tanpa diduga-duga, pada saat itu dengan kesaktian kakek tersebut, air mata Si bungsu secara perlahan-lahan berubah menjadi telur-telur putih yang besar dan banyak jumlahnya. Si bungsu berubah bentuknya menjadi seekor burung yang indah bulu-bulunya. “Aku akan menolongmu dari kesengsaraan. Tapi, dengan cara engkau mengubah bentukmu menjadi seekor burung dengan nama Burung Ruai. Apabila aku telah hilang dari pandanganmu, eramlah telur-telur itu supaya jadi burung-burung sebagai temanmu “.Bersamaan dengan itu, kakek sakti menghilang bersama asap. Burung Ruai yang sangat banyak jumlahnya ikut berlalu, kemudian hidup di pohon depan tempat tinggal si bungsu dahulu. Mereka menyaksikan keenam kakak Si bungsu dihukum oleh ayah karena telah membunuh Si bungsu.

unsur-unsur interistik:
A. tema : ketegaran si hati seorang bungsu

B. alur : alur maju karena menceritakan ke masa mendatang

C. sudut pandang : 
     orang ketiga serba tahu 
     bukti cerita : 
     diceritakan dari orang yang menulis, seakan tau rangkain cerita tersebut

D. tokoh perwatakan : 
     1. si bungsu : baik, rajin, suka menolong, taat kepada orangtua
     2. keenam putri : jahat, iri hati, suka membatah orang tua, dan malas 
     3. raja : bijaksana
    4. kakek tua : sakit, baik hati

F. latar tempat :
    1. gunung bawang 
    2. gunung ruai
    3. gua batu
    4. kerajaan
    5. istana

G. latar waktu :
     -pada zaman dahulu
      "konon pada zaman dahulu"
     -setiap hari
      "setiap hari yang dikerjakannya hanya bermain - main"
     -pada suatu hari
      "maka pada suatu hari berkumpulah semua penghuni istana" 
     -satu bulan
      "kekerabatan mereka selama satu bulan"
     -keesokan harinya
      "pada keesokan harinya"
     -suatu siang
       "maka suatu siang keenam kaka si bungsu"
     -pada hari ketujuh
       "pada hari ketujuh si bungsu berada di dalam"

H. latar suasana :
    1. gembira
        karena sagat gembira kakanya mau berteman lagi dengannya, si bungsu menerima ajakan                     tersebut
    2. gelap gulita
        keaadaan yang gelap gulita membuat si bungsu benar-benar kehabisan akal
    3. menangis/sedih
        si bungsu hanya bisa menangis siang dam malam
    4. ketakutan
        si bungsu menangis ketakutan hingga airmatanya

I. amanat :
   jadilah orang yang selalu berbuat baik. karena kebaikan pasti akan menang


siti nurhaliza XII-IPS 1
    



SINOPSIS NOVEL REFRAIN -AYU LESTARI-

SINOPSIS NOVEL REFRAIN

Nata dan Niki adalah dua orang sahabat yang selalu bersama-sama sejak kecil menatap bintang di atas trampolin yang menjadi rutinitasnya. Setiap Niki bertanya tentang siapa yang akan lebih dulu jatuh cinta di antara mereka berdua, Nata selalu menjawab “kamu” kepada Niki. Suatu hari di sekolah, Niki dan Nata mempunyai sahabat yang bernama Annalise (Anna) pindahan dari New York. Anna merupakan anak tunggal dari model terkenal Vidia Rossa. Anna merupakan anakbroken home yang kekurangan kasih sayang mamanya yang selalu sibuk mengurusi pekerjaannya sebagai designer danmodel di luar negeri. Kemudian Niki mengajak Anna berteman dan Niki, Nata, Anna menjadi sahabat erat. Ternyata diam-diam Anna menaruh rasa sayang kepada Nata. Di sisi lain Nata pun merasakan ada yang berubah dari diri seorang Niki yang kemudian membuat jantungnya berdegup lebih kencang ketika bersama Niki. Anna kemudian mengetahui bahwa Nata menyukai Niki dan bertanya kepada Nata. Awalnya Nata tidak peduli, tetapi akhirnya ia meminta saran kepada Anna tetntang perasaannya.
Suatu hari Niki diajak berkenalan oleh kapten basket dari lawan SMA nya. Oliver anak terkenal dari SMA Pelita. Niki pun menjadi gugup ketika suatu hari Oliver mengajaknya jalan-jalan dan menyatakan rasa cintanya pada Niki. Seketika itu Niki merasa betapa senangnya mempunyai pacar dan betapa indahnya jatuh cinta. Niki pun langsung menceritakan kepada Nata dan Anna. Nata terkejut dan mengatakan bahwa Oliver tidak pantas menjadi pacar Niki. Nata berkata dalam hatinya bahwa sebenarnya dia yang lebih dulu jatuh cinta daripada Niki.
Anna mengajak Nata dan Niki ke rumahnya untuk memilih koleksi-koleksi fotonya untuk dilombakan. Niki menemukan kumpulan foto-foto Nata dalam sebuah kotak sepatu yang secara diam-diam disimpan oleh Anna. Nata kemudian memberanikan diri bertanya tentang foto-foto itu. Anna pun mengatakan bahwa dia sayang kepada Nata. Anna lalu cepat mengatakan bahwa tidak perlu ada jawaban dari Nata karena ia sudah tahu jawabannya. Nata menjadi lega dan berkata bahwa ini baru pertama kalinya ada cewek yang menyatakan langsung perasaaannya kepadanya.
Suatu hari Niki masuk ke kamar Nata dan secara tidak sengaja membaca lagu-lagu ciptaan Nata. Mata tertuju pada sebuah buku yang kemudian isinya membuat Niki lemas ketika ia membaca tulisan di dalamnya yang ternyata adalahtentang perasaan Nata kepadanya. Nata memergokinya dan Niki langsung bergerak untuk meninggalkan ruang itu, tetapi ditahan oleh Nata yang meraih tangannya dan berkata dalam suara rendah, “gue sayang lo, Nik”. Niki tidak menjawab dan langsung berlari pergi kerumahnya. Saat itu Nata merasa dia sudah kehilangan sesuatu yang penting dalam hidupnya. Persahabatan Nata dan Niki pun menjadi renggang.
Suatu ketika sepulang sekolah Nata berusaha mendekati Niki, ingin mengatakan sesuatu tentang perasaannya dan Nata juga mengatakan bahwa ia tidak ingin merusak persabatannya apalagi hubungan Niki dengan Oliver. Nata hanya ingin Niki tidak menjauh darinya. Niki akhirnya berani berkata bahwa dia tetap menganggap Nata sebagai sahabatnya, tidak lebih dan kemudian meminta maaf kalau ia tidak menerima perasaan Nata. Terkadang Niki merasa rindu untuk berkumupul kepada Anna dan Nata. Ia hanya bisa mengintip dari rumahnya ketika Nata bercanda ria bersama Anna di trampolin. Tempat khusus dirinya bersama Nata.
SMA Pelita akan mengadakan pesta perpisahan, dan Niki akan datang menjadi pasangan Oliver. Namun, Niki terkejut dan marah ketika melihat Oliver berpasangan dengan Helena. Helena sudah merencanakan semua itu karena ia iri kepada Niki. Helena berhasil menipu Oliver dengan mengatakan bahwa ia akan mempertemukannya dengan Shasa. Oliver tega melakukan semua itu karena sangat mencintai Shasa.
Niki terkaget ketika Nata tiba-tiba menjemputnya danmengajaknya pulang dari tempat pesta itu ketika ia sedang menangis. Sahabatnya datang menyelamatkannya. Nata datang tanpa sepengetahuan Niki dan telah diberitahu oleh Oliver bahwa ia harus menjemput Niki. Oliver sebenarnya tidak tega melakukan itu. Akhirnya Nata dan Niki memutuskan untuk mengobrol di trampolin semalaman. Mereka berdua kembali berbaikan.
Kelulusan akan segera tiba. Annalise memutuskan untuk kuliah, sementara Niki masih bingung. Nata tidak sanggup meninggalkan Niki, padahal ia sudah diterima sekolah musik impiannya di luar negeri. Danny tahu apa yang terjadi pada adiknya. Ia pun menasehati agar Nata mau sekolah dan tidak perlu khawatir terhadap Niki. Malamnya, Nata dan Niki memutuskan untuk menghabiskan malam di atas trampolin sambil mengingat masa-masa kecilnya dulu hingga mereka berdua tertidur di atas trampolin itu. Setelah terbangun , mereka memperhatikan dua planet bersinar pagi itu, berdekatan seperti dua sahabat. Akhirnya perpisahan itu terjadi, Nata akan pergi untuk waktu yang lama.  Nata mengecup kening Niki dengan lembut, membekaskan seluruh rasa cintanya pada gadis itu.  Mereka berdua menangis dan Nata berkata dalam hati “Gue akan segera pulang dan,saat itu,gue gak akan melepaskan lo lagi”.
Setelah hampir lima tahun Nata dan Niki berpisah. Sampai suatu hari Nata pulang dan memutuskan untuk mampir ke sekolah lamanya.  Teriakan seorang guru perempuan membuat Nata ingin mencari asal suara itu. Hati Nata berdegup, terpaku dan tidak mampu bergerak ketika menemukan asal suara itu. Mereka pun saling berpandangan. Ingin berteriak senang namun hanya seruan kecil yang keluar. Mereka pun kemudian menjadi sahabat yang tidak akan pernah terpisah selamanya.
 UnUnsur Intrinsik Buku
-Tema: Persahabatan yang diperjuangkan agar tidak hancur karna percintaan.
-Penokohan:
Niki adalah seorang gadis berumur 17 tahun yang sangat ceria, friendly dan easygoing. Niki adalah kakak satu-satunya dari Klaudia dan sahabat sekaligus tetangga Nata dari kecil. Niki sangat kagum dan mencintai cheerleading sejak pertama kali masuk SMA. Dengan segala macam usahanya dan dengan dibantu sang ketua, Helena, Niki pun berhasil menjadi anggota dan menjadi salah satu anggota favorit. Niki tidak pernah ingin kehilangan dan jauh dari sahabatnya, Nata dan Anna. Terkadang Niki kesal jika melihat Nata bersama perempuan lain di trampolin, tempat favoritnya dan Nata.
Nata adalah sahabat paling dekat dan kesayangan Niki dari kecil. Nata orangnya terlihat sangat cuek dan tegas kepada orang padahal di sisi lain dia sangat peduli dan halus kepada Niki. Nata mempunyai talenta bermain musik tetapi tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Niki, Anna dan kakaknya, Danny. Karna Nata enggan untuk memperlihatkan kebolehannya bermain musik karna ia demam panggung. Nata selalu berusaha untuk tidak pernah menyakiti Niki maupun Anna.
Anna (Annalise) adalah sahabat baru Niki dan Nata yang adalah pindahan dari New York. Anna merupakan anak tunggal dari model terkenal Vidia Rossa. Anna merupakan anak broken home yang kekurangan kasih sayang mamanya yang selalu sibuk mengurusi pekerjaannya sebagai designer dan model di luar negeri. Anna pun mulai merasakan warna kehidupan ketika ia mulai bertemu Niki dan Nata. Anna adalah gadis cantik yang tidak menyukai pesta yang sangat berbakat dalam fotografi.
Oliver adalah cinta pertama Niki yang adalah kapten basket SMA Pelita. Oliver adalah laki-laki yang sangat ‘perfect’yang merupakan dambaan semua perempuan. Oliver selalu merasa senang ketika sedang menghabiskan waktu dengan keceriaan Niki. Oliver tidak pernah tega untuk melukai Niki. Tetapi ia pun melukai Niki karna terjebak pada jebakan Helena.
Helena adalah ketua dari cheerleading SMU harapan yang sangat cantik. Helena adalah gadis yang licik yang tidak ingin posisinya digeser oleh siapapun. Ia rela melakukan apapun untuk mempertahankan posisinya. Dia pun menjebak Oliver agar Niki terluka. Karna Niki hampir pernah diangkat menjadi ketua.
Klaudia adalah adik perempuan Niki yang berumur 15tahun yang selalu menjadi tempat curhat Niki. Walaupun Klaudia lebih muda dari Niki tetapi ia lebih sabar dan selalu memberi saran yang tepat sasaran.
Danny adalah kakak laki-laki Nata yang rupanya sangat mirip dengan Nata. Danny menganggap bahwa Niki adalah adiknya. Danny tidak pernah ingin berhubungan dengan perempuan ketika telah dicampakkan oleh Mirriam, masa lalunya.
    - Alur: Alur maju
      -Setting (Latar):
                              - Latar waktu: tengah malam, saat kelulusan, saat matahari terbit, siang hari.
                              - Latar tempat: kamar, di dalam mobil, rumah, kelas, sekolah, di atas trampolin.
                              - Latar suasana: menyenangkan, mengharukan, menyedihkan, romatis.
      - Sudut Pandang:
Sudut pandang penulis adalah sudut pandang orang ketiga yang serbatahu dan orang ketika sebagai pengamat. Karna penulis menggunakan kata “dia” bukan “aku”.
        -Amanat:
Amanat yang terdapat pada novel Refrain ini adalah kita tidak boleh egois dalam persahabatan. Kita juga harus memikirkan perasaan sahabat-sahabat kita. Dari novel ini kita belajar untuk mencintai sahabat kita dengan tulus dan apa adanya. Selalu berusaha ada untuknya disaat ia membutuhkan dan selalu bersedia memaafkan jika sahabat kita mengaku salah.

AYU LESTARI
12 IPS 1


Senin, 29 September 2014

CERPEN BANGKIT BY VEGA SAVIRA

Cerpen Karangan: Alfred Pandie

Pandanganku pada langit tua. Cahaya bintang berkelap kelip mulai hilang oleh kesunyian malam.  Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap. Cahaya bulan malam ini begitu indahnya. Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Konflik dengan orang tua karena tidak lulus sekolah. Hari ulang tahun yang gagal di rayakan. Dan hadiah sepeda motor yang terpaksa di kubur dalam-dalam karena tak lulus, belum lagi si adik yang menyebalkan. Teman-teman yang konvoi merayakan kemenangan, sedang aku?

Hari-hari yang keras kisah cinta yang pedas. Angin malam berhembus menebarkan senyumku walau sakit dalam hati mulai mengiris. Sesekali aku menghapus air mataku yang jatuh tanpa permisi. Sakit memang putus cinta.

 Rasanya beberapa saat lalu, aku masih bisa mendengar kata-kata terakhirnya yang tergiang-ngiang merobek otak ku.

“sudah sana… Kejarlah keinginanmu itu!, kamu kira aku tak laku, jadi begini sajakah caramu, oke aku ikuti.. Semoga kamu tidak menyesal menghianati cinta suci ini.” beberapa kata yang sempat masuk ke hpku, di ikuti telpon yang sengaja ku matikan karena kesal atau muak.

Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit.

“selamat malam..? Sorii mba kayanya lagi sedih banget boleh aku minta duitnya..” seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan,

 Ia mengeluarkan sebilah pisau lipat dan mengancamku. Aku hanya terdiam tak berkata, membuatnya sedikit binggung. Aku meraih tas di sampingku dan menyerahkan padanya. “ini ambil semua.. Aku tak butuh semua ini. Aku hanya ingin mati…!” Aku melemparkan tas ke hadapannya yang di sambut dengan senyum picik dan iapun menghilang di gelapnya malam.

Aku bangkit berdiri dan berjalan menyusuri malam, berdiri menatap air suangai yang mengalir airnya deras.Di sini di atas jembatan tua ini. Angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku. Aku berdiri menatap langit yang bertabur bintang, rasanya tak ada yang penting bagiku sekarang. Perlahan-lahan aku berjalan menaiki jembatan dan berdiri bebas. Menutup mata dan tinggal beberpa senti lagi aku akan terjatuh. Aku perlahan mengangkat kaki kananku dan…?

Tiba-tiba sosok pemabuk yang menodong pisau padaku ku tadi, menarik baju ku dan menampar pipiku kuat, keras sekali tamparannya

“ini uang dan tas mu…!! Aku tak butuh..! Aku lebih baik mati kelaparan dari pada melihat wanita lemah sepertimu” ia menarik ku turun dan melemparkan tasku di atas tanah

 Dan ia berlalu pergi.  Aku bangkit dan meraih tas ku kembali menyusuri tangga turun. Sosok yang tadi, pria mabok yang ternyata seumuran denganku, di sekujur tubuhnya penuh tato dan tubuhnya kurus sekali. Ia berdiri termenung pada tangga jalan. Sesekali menatap langit dan menghapus air matanya.

“boleh aku berdiri disini bersamamu? Aku menyapanya tapi ia hanya terdiam membisu”. Aku berdiri di sampingnya menunggu sampai kapan ia akan berdiri pergi dari sini.

 “kenapa kamu menamparku..?

 Kenapa kamu menolongku?

 Aku sudah tak berarti lagi. Pria yang aku cintai bertahun-tahun mencapakanku dengan tuduhan yang tak jelas, aku memulai pembicaraan”.

 Dengan sesekali menghapus air mata akibat dari gejolak di hatiku. “apa kamu akan terdiam atau aku telah mengusikmu?”. Aku melihatnya dan ia balik menatapku tajam. Aroma alkohol dari mulutnya jelas tercium saat ia bicara “maafkan aku..? Sungguh aku minta maaf, menurut ku kamu terlalu lemah, masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit, bukankah setiap hari kita merasakan hal yang sama? Ia berkata sembari mengulurkan tangannya yang ternyata cuma 2 jari yang utuh, Aku mulai merinding karena sedikit takut. Sehingga aku tak membalas uluran tangannya. “kaget ya mbak?. Jari ku yang lain di potong oleh preman karena persaingan. Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk tertidur saja itu sulit. Harus rela kedinginan, Di gigit nyamuk dan tempat ku tertidur hanya di emperan toko, Dan kalau sudah penuh oleh gembel lain, terpaksa aku harus mencari tempat lain yang menurutku layak. Maaf bila aku mengambil tas mu. Aku butuh makan, sudah 3 hari aku tidak makan, sisa makanan di tong sampah sudah membusuk karena hujan kemarin, Biasanya aku mencari secerca kenikmatan disana yang masih bisa layak ku telan, rasa lapar tak akan bisa membuatmu jijik. Setiap hari saat membuka mata yang anda ingat hanya perut dan perut.”Ia terdiam dan mengalihkan pandanganya luas menembus angkasa, langit malam ini. Aku hanya terdiam terpaku dengan mulut terbuka, betapa aku tak percaya setengah mati. Bagaimana mungkin seandainya sekarang aku berada di posisi ini? Aku yang terlahir dari keluar sederhana namun penuh kehangatan, uang bukan masalah, aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya, semuanya cukup, tapi ternyata itu bukan kebahagian, itu nafsu sesaat, Aku memang memiliki segalanya tapi tidak dengan cinta, selalu ada yang kurang setiap hari. Tanpa kebersaman kita mati. Terutama pentingnya mensyukuri apa yang ada. Aku menarik tangan dan menjabat tangannya kuat-kuat yang tinggal dua jari meski sedikit risih karena aneh menurutku. Aku memberinya sedikit pelukan hangat. Ia tersenyum memamerkan mulutnya yang bau alkohol dan bau wc umum. Aku menyerahkan tas ku padanya. “ambil lah.. Aku tak mengenalmu tapi kamu memberi ku banyak alasan hari ini, kenapa aku harus kuat menghadapi hidupku sekarang dan nanti, bukankah hidup harus tetap di jalani. Aku sadar masih punya segalanya, bodoh sekali cuma karena cinta semangatku hilang, belum tentu ia jodohku, belum tentu ia juga memikirkan hal yang sama, rasa sakitku”. Aku berlari menuruni tangga meninggalkan ia sendiri yang masih terdiam menatap kembali langit yang menampakan bintang-bintang kecil yang berkelip dengan jenaka, seakan hari ini tak akan berlalu.

Ketika aku akan menapaki jalan. Kekasihku sedang berdiri di depanku dengan bunga mawar banyak sekali di tangannya, sementara di belakangnya orang tua dan adikku yang berdiri di samping mobil, kami saling terdiam untuk beberapa saat ia memulai.“maafkan aku sayang, ternyata aku yang salah menilaimu, makasih ya?, sudah membuat hidupku lebih berharga karena ini. Ia menyerahkan bunga dengan sebuah diary usang punyaku, yang entah dari mana ia mendapatkannya. Tapi disinilah aku bisa menulis menitikan setiap masalah, rasa banggaku atas kekasihku ini. Aku memeluk erat tubuhnya lama kami terdiam di iringi tangis dan canda menghiasi malam, sementara kedua orang tuaku tersenyum senang. Aku mengajak kekasihku menaiki tangga untuk mengenalkan pada orang yang mengajarkanku banyak hal. Khususnya arti bersyukur.Kami menapaki jalan tangga dan melirik sekeliling dan mencari namun sosok itu hilang tak berbekas? Kami turun dan kami pergi ke mall bersama orang tua dan adik ku untuk merayakan ulang tahunku.

Walaupun tetap aku tak dapat sepeda motor karena tak lulus tapi bukan berarti kehangatan ini harus berakhir

Tamat

1.    Unsur Intrinsik cerpen ‘‘Bangkit’’

1.Tema: Jangan mudah putus asa / kehidupan

2.Latar:

-Waktu : Malam hari
              Bukti : Cahaya bulan malam ini begitu indahnya. 

-Tempat : di pinggir jalan dan di atas jembatan

    Bukti :  ‘Aku termenung di pinggir jalan, memegang kepalaku yang sakit. ‘

    ‘ Di sini di atas jembatan tua ini angin sepoi-sepoi menyerang tubuh ku’.

-Suasana : Sunyi sepi

     Bukti : ‘Aku berjalan menyusuri lorong malam sepi nan gelap.’

3. Alur : Maju

            -Karena jalan cerita dijelaskan secara runtut mulai dari pengenalan latar dan     masalah sampai ke
              konflik dan di akhir cerita terdapat penyelesaian konflik.

4.Penokohan :

    - Aku : mudah putus asa, kurang bersyukur dan selalu mengeluh

    Bukti :  ‘Kenapa kamu menolongku? Aku sudah tak berarti lagi.’

‘Aku hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang tuaku mendapatkannya.’

   -Pria pemabuk : pemabuk dan kuat menghadapi beratnya hidup

               Bukti :  ‘seorang pemabuk dengan botol bir di tangan kiri dengan jalan yang tak beraturan’

  ‘Hidup di jalan seperti ku ini, hawanya sangat dingin dan penuh nyali besar, bahkan untuk
   tertidur saja itu sulit.’

5.Sudut pandang : orang pertama sebagai pelaku utama.

   -Bukti : Cerpen bangkit menggunakan kata ganti “aku” sebagai tokoh utama dan mengisahkan tentang dirinya sendiri.

6. Nilai :

   -Nilai Moral : Saat tokoh ‘aku’ menyadari selama ini  hanya meminta tanpa pernah tahu bagaimana orang 
    tuanya mendapatkannya.Kita seharusnya bersyukur dengan apa yang telah kita miliki tidak hanya
    menuntut sesuatu karna diluar sana masih banyak orang yang kekurangan.

  -Nilai Perjuangan = Pria pemabuk berjuang bertahan hidup di jalanan yang keras. Di kehidupan nyata
    banyak orang yang melakukan apapun untuk berjung hidup. Kita harus berjuang mempertahankan hidup
    di dunia yang keras ini.

  -Nilai Kepedulian = Saat Pria pemabuk menyelamatkan tokoh ‘aku’ yang akan terjun dari jembatan.
    Banyak orang yang membutuhakan bantuan kita saat menghadapi masalah kita seharusnya membantu   
    mereka tidak membiarkannya.

7.Amanat :

 a. Jangan mudah putus asa dalam menjalani kerasnya hidup.

 b. Bersyukurlah atas apa yang telah dimiliki.

 c. Hidup tidaklah sempurna kadang manusia diatas dan kadang dibawah.

 d. Jangan lari dari permasalahan.

 e. Kegagalan adalah awal dari keberhasilan.

 f. Masalah apapun jangan berhenti untuk bangkit
2.    Unsur Ekstrinsik cerpen “Bangkit”

1. Latar Kepengarangan Penulis : Penulis menjumpai berbagai reaksi masyarakatt saat mereka gagal dan berputus asa. Dalam cerpen ini penulis ingin menginspirasi/memotivasi orang-orang dalam menghadapi kerasnya hidup melalui ceritanya.

2. Keyakinan Penulis : Penulis yakin bahwa kejadian ini banyak ditemui di masyarakat. Banyak orang yang bunuh diri karena putus asa maka penulis menggambarkan situasi tersebut dalam sebuah cerpen.

3. Masyarakat pembaca : Pembaca dapat mengambil hikmah dari cerpen ini karena cerpen ini  mengandung masalah-masalah yang ada di masyarakat dan masih banyak orang yang memiliki masalah yang sama dengan cerpen ini.

CERPEN PERJALANAN TERINDAH -AYU LESTARI-

Perjalanan Terindah
Di kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi. Mataku sedikit terbuka, pertanda mimpi indah malam ini telah usai. Jam menunjukkan pukul 03.00. Aku tetap terbaring, bukan berarti malas. Kuhayati setiap lirik musik yang kudengarkan, penuh dengan makna. Aku masih terbaring, kukumpulkan semangatku saat itu. Musik reff terdengar, semangatku semakin berkumpul. Ku terbangun dan langsung kubuka jendela kamarku. Angin pagi berhembus menyegarkan, walaupun memang masih gelap. Bibir ini berbisik, ucapan do’a tanda syukurku atas dibangunkannya jasad ini dari alam yang tak kukenal. Aku siap melewati hari ini.
            Aku berjalan menuju ruang makan, kulihat ibu telah menyiapkan makan sahur. Hari ini hari senin, sudah menjadi amalan andalan kami untuk berpuasa setiap hari senin dan kamis. Ku tersenyum pada ibu, kuteruskan langkahku untuk membasuh muka, menyegarkan wajah kusutku seusai bangun tidur. Berdua saja kami duduk di depan meja makan, aku dan ibuku.
            “Sudah siapkah semua barangnya, Nak?” tanya ibuku.
            “Tentu saja sudah, Bu. Tinggal berangkat saja”, jawabku.
            “Hati-hati ya kalau sudah di sana. Terus hubungi ibu, takut terjadi apa-apa” ucap ibuku, sedikit khawatir.
            “Tenang saja, Bu. Lily bisa jaga diri kok, insya Allah”, ujarku.
            “Baguslah kalau begitu. Seusai shalat subuh, ayah akan langsung mengantarmu ke stasiun”.
            Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kulanjutkan membereskan apa saja yang harus ku bawa. Aku mungkin terlalu keasyikan, setelah shalat subuh aku malah terdiam dan merenung. Bersama kesunyian aku membayangkan, mimpiku ternyata bisa terwujud. Dengan keadaan keluarga yang apa adanya, aku bisa kuliah tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun. Di dalam lamunanku, aku terkejut.
“Neng!” ucap ayahku dengan kerasnya.
“Iya Ayah?” jawabku kaget.
“Ayo, sudah pukul lima. Nanti terlambat masuk kereta” ucap ayahku cemas.
“Oh, baiklah Ayah”.
Dengan menaiki motor yang begitu khas suaranya, kami mulai berangkat. Ibu tak ikut mengantarku, katanya dia harus menjaga rumah. Lagipula tak bisa bila harus menaiki motor dengan tiga orang penumpang sambil membawa barang yang cukup banyak, sungguh hal yang mustahil.
“Jaga diri baik-baik, Nak. Banyak berdo’a. Tetap semangat, jangan lupa ibadahnya”, nasehat dari ibuku.
“Baik, Bu. Do’akan saja Lily semoga semuanya bisa barakah bagi kehidupan Lily” ucapku, dengan mata yang cukup berkaca-kaca.
“Iya, Nak. Ibu pasti akan selalu mendo’akanmu. Kalau begitu lekaslah, takut ketinggalan kereta”, ucap ibuku dengan air matanya yang menetes.
“Kalau begitu kami berangkat dulu, Bu. Assalamu’alaikum”, ucap ayahku.
“Wa’alaikumsalam”, jawab ibuku.
Aku pun bersalaman dengan ibu, begitupun ayah. Air mata membasahi pipi ibu. Aku mengerti, memang seperti itulah perasaan seorang ibu. Air mataku pun ikut terjatuh, hatiku luluh. Segera ku bergegas menaiki motor sambil menghapuskan air mataku. Begitu dinginnya subuh itu. Namun untungnya aku tetap merasakan kehangatan, dari jaket pemberian ibuku dan dari hangatnya punggung ayahku.
Kereta beberapa menit lagi berangkat. Aku berlari dengan kencangnya bersama ayahku, membawa barang yang cukup berat. Tepat di depan pintu kereta aku berdiri.
“Hati-hati ya Nak. Kalau ada apa-apa hubungi ayah atau ibu. Banyak berdo’a di jalan. Musafir do’anya sangat mustajab. Kabari ayah kalau sudah sampai”. ucap ayahku dengan lembutnya.
“Baik, Ayah. Doakan Lily ya”, ucapku tersenyum, namun dengan air mata yang menetes.
Ayah mengangguk. Aku masih tetap tersenyum. Tepat saat itu, kereta mulai berjalan. Aku pun masuk, kucari tempat duduk yang masih kosong, tepat di pinggir jendela. Kulihat ayahku masih berdiri, menunggu keberangkatan kereta hingga sampai jauhnya. Aku masih tetap tersenyum bersama linangan air mata. Ayahku, ibuku, dan juga desa yang kucintai ini pasti akan amat kurindukan. Di dalam hati aku semakin bertekad, aku harus bisa menggapai cita-citaku dengan baik. Ikhtiar dan do’a, sudah pasti harus selalu kulakukan.
Perjalanan di dalam kereta memang amat membuatku nyaman, menurutku. Apalagi dengan duduk tepat di pinggir jendela. Di pagi hari yang cerah, pemandangan yang indah tentu sudah sangat cukup untuk menyegarkan penglihatan ini. Asri, indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku, melangkah menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku, menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru, bersama para awan dan juga burung yang beterbangan semakin memperindah suasana ini.
“Maaf Mba, bisakah Anda menyingkir dulu dari sini?”, ucap seorang lelaki berbaju merah dengan celana jinsnya yang begitu rapi, ditambah dengan sepatu ala boybandnya berwarna matching dengan kaos merahnya. Aku sedikit ilfeel dengan gayanya saat berbicara itu. Ditambah gaya pakaiannya yang seperti orang kota. Memang tampan, namun raut wajahnya seperti orang yang angkuh. Itulah pemikiranku, sebagai seseorang yang sederhana.
“Kalau ga mau, gimana?”, ucapku sinis.
“Maaf mba, hati-hati kalau berdiri di situ, berbahaya”.
Aku terdiam. Di hatiku terjadi perdebatan. Aku menganggapnya orang kota yang angkuh, namun setelah kulihat ternyata ucapannya terasa lembut. Aku bingung, namun saat itu aku lebih memilih sinis kembali padanya. Orang kota dengan gaya seperti itu pastilah sombong, dan terkadang selalu menyakiti hati orang-orang yang sederhana, apalagi perempuan sepertiku. Bila dia memang berlaku baik padaku, dia pasti memiliki maksud yang tidak baik. Seperti apa yang dikatakan orang-orang di sekitarku, dan juga sesuai dengan pengalaman pribadiku, bahwa laki-laki yang terlihat angkuh namun memiliki wajah yang tampan, pastilah dia selalu menyakiti hati seorang wanita.
Lelaki itu berkata “Maaf mba, berbahaya berdiri di situ, saya hanya memberi tahu. Lagipula....”, aku memotong ucapannya.
“Maaf ya mas, kalau bahaya ya biar saja. Lagipula berbahaya buat saya, bukan buat Mas!” ucapku semakin sinis.
“Tapi mba..”
“Tapi apa? Jangan paksa saya dong!” ucapku dengan lebih sinis lagi.
“Maaf Mba, silakan jika mau tetap berdiri di situ. Tapi...”, ucapannya dipotong lagi olehku.
“Tapi apa?” sentakku. Aku tahu ini tidak baik, tapi aku tetap pada pendirianku yaitu berlaku sinis kepada laki-laki, apalagi yang belum kukenal.
“Mohon maaf sekali Mba, saya mau lewat ke gerbong sebelah. Saya sudah ditunggu oleh teman saya. Sebentar saja Mba, kalau saya sudah lewat, silakan kalau Mba mau berdiri lagi di situ”, ucapnya dengan sopan.
Aku cukup malu sebenarnya. Dia begitu lembut padaku, tapi aku malah menyentaknya. Akupun melangkah menjauhi pintu kereta itu dan kembali ke tempat dudukku. Dia pun melewat.
“Makasih, Mba” ucap lelaki itu sambil tersenyum.
Aku tersenyum kecil. Aku pun melangkah, dalam hati aku masih ingin tetap berdiri di sana. Kutengok ke arah belakangku, kulihat lelaki itu malah berdiri di tempat dimana aku berdiri tadi kemudian tersenyum. Aku sedikit kesal, kemudian akupun menghampirinya.
“Katanya mau lewat, nyatanya kamu malah berdiri di situ!” teriakku padanya.
“Oh, iya maaf Mba. Cuma mau berdiri sebentar, sekarang pun mau ke gerbong sebelah. sekali lagi maaf ya, Mba” ucapnya dengan begitu ramah. Dia pun berjalan meninggalkan gerbong yang ku tempati, menuju gerbong sebelah. Aku terdiam. Aku pun berdiri kembali di pintu kereta sambil melihat pemandangan dari setiap jalan yang kulewati. Akupun dapat tersenyum kembali dengan melihat semua itu.
Dari pagi sampai siang, gerbong yang ku tempati memang penuh. Namun ternyata lama-kelamaan, penumpang satu persatu turun dari kereta. Gerbong mulai kosong, maklumlah memang tujuan yang ku tuju adalah stasiun pemberhentian akhir, jadi aku harus tetap duduk di kereta hingga stasiun akhir, yaitu di Malang. Cukup sepi juga. Aku masih tetap asik melihat pemandangan sambil duduk di kursi dekat jendela kereta. Aku merenung dan terkadang tersenyum sendiri. Kulihat kembali lelaki berkaos merah tadi, duduk di dekat pintu gerbong sambil memegang kamera SLRnya. Dia memotret segala yang ada di sekitarnya, dan dia seperti memotret ke arahku. Rasa suudzon mulai muncul kembali di dalam hatiku, sepertinya dia hendak mengambil fotoku. Bagaimana bisa aku membiarkan seseorang yang tak kukenal mengambil foto wajahku. Aku pun beranjak dari tempatku, dan langsung menghampirinya.
“Kamu mengambil foto-fotoku? Buat apa, kamu orang asing, berani-beraninya mengambil fotoku!” ucapku dengan nada yang cukup tinggi. Dia hanya terdiam. Aku pun merebut SLR di tangannya. Kulihat foto-foto yang tadi dia ambil. Ternyata bukan fotoku, ada beberapa foto yang kulihat dan itu adalah foto-foto pemandangan di sepanjang jalan yang telah dilewati. Seketika itu dia merebut kembali SLRnya dengan wajah yang sinis. Aku amat tak berkutik waktu itu. Dia sepertinya kesal padaku. Aku terdiam, aku merasa amat bersalah.
“Maaf, Mas”, ucapku. Tanpa melihat wajahnya, aku langsung berlari ke tempat dudukku. Aku malu. Mengapa aku harus suudzon kepadanya, ditambah lagi kejadian tadi pagi saat aku menyentaknya. Semakin ku mengingatnya, semakin ku merasa bersalah padanya. Perjalanan masih jauh, aku belum shalat dzuhur. Biarlah, mungkin nanti bisa diqashar. Kereta berhenti di sebuah stasiun, menunggu penumpang yang akan segera masuk. Sesekali pengamen dan juga para pedagang masuk. Seorang anak kecil datang menghampiri penumpang dan memberikan amplop yang bertuliskan sesuatu.
Bapak/Ibu, mohon kasihani kami. Kami belum makan, kami lapar. Mohon minta keikhlasannya. Semoga amalan Bapak/Ibu diterima di sisi Allah, Amin.
Itulah kata-kata yang tertulis di amplop itu. Hati kecil ini merenung, betapa kerasnya kehidupan mereka. Kulihat dompetku, tak begitu banyak uang di sana. Kusisihkan sedikit saja, mungkin dapat membantu mereka. Mereka tidak mungkin berbohong, kalaulah memang mereka berbohong, aku yakin bahwa mereka membutuhkan uang dari orang lain. Sungguh hatiku tersentuh melihat anak kecil itu.
Sesekali aku melihat ke ujung kereta, duduk seorang lelaki berkaos merah tadi. Teringat kembali rasa bersalahku tadi. Aku hanya diam. Walaupun begitu, aku masih tetap saja ingin berdiri di dekat pintu kereta. Akupun berdiri kembali di sana, di dekatku duduk lelaki itu. Namun dia tidak menolehku sedikitpun, dia sepertinya  marah padaku.Aku pun memakluminya bila dia bersikap seperti itu padaku. Handphone ku bergetar, ku kira ada telepon dari ayah atau ibu, ternyata hanya sms dari operator seluler. Aku terdiam kembali, aku lupa tidak mengisi pulsaku, jadi aku hanya bisa menunggu telepon dari orang tuaku.
Aku kembali merenung, melamun. Itulah kebiasaanku di waktu senggang, memikirkan berbagai hal, memberaikan segala fantasi yang ada di benakku. Aku terkejut. Lelaki berkaos merah itu menghampiriku dan langsung membawa handphone yang ku pegang. Dia berlari keluar dari gerbong kereta. Aku refleks mengejarnya keluar. Dia tersenyum. Aku kelelahan, sambil berlari aku berteriak.
“Hey kamu! Kembalikan handphoneku! Mau kau apakan handphoneku. Heyy!”. Dia menoleh, kemudian tersenyum kembali. “Sini saja ambil, kejar dong!”.
“Aku cape! Kamu siapa sih! Tolong jangan ambil hp itu. Aku masih memerlukannya untuk menghubungi keluargaku. Heeeeey!”, teriakku dengan lebih kencangnya lagi.
Dia malah berlari semakin kencang. Apa boleh buat, akupun harus berlari dengan kencang pula. Tapi jangan diremehkan, akupun bisa berlari dengan kencang, maklum juara estapet se-kecamatan pada saat sd. Aku semakin sulit mengejarnya. Aku tak tahu seberapa jauh aku berlari, yang pasti aku harus mendapatkan handphoneku. Di suatu tempat dia berhenti. Aku menghampirinya dengan nafas yang terengah-engah.
“Kok berhenti! Kenapa gak lari lagi aja sih sekalian! Puas kan!” teriakku dengan begitu kerasnya.
“Santai aja, Mba. nih Hpnya”, ucapnya sambil tersenyum.
“Loh, maksud kamu apa sih! Bawa hp saya, terus sekarang dikembalikan lagi. Ga ada kerjaan ya emangnya ......”, ucapanku berhenti. Dia memegang dahuku, dan mengarahkannya ke segala arah di sekitarku. Dia pun tersenyum. Seketika aku berkata, “Subhanallah”.
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima tanpa batas. Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat. Setelah itu aku teringat kembali akan suatu hal.
“Mengapa kau membawaku kemari, Mas?” tanyaku pada lelaki berkaos merah itu.
“Sudahlah, tak usah banyak tanya. Nikmati keindahan dari Sang Pencipta ini”, ucapnya sambil tersenyum.Dia memegangku dan membawaku lari. Dia tertawa, akupun tertawa. Aku tak tahu pasti mengapa aku tertawa, mungkin karena di dalam hati kecilku tumbuh perasaan yang amat membahagiakan. Dia membawaku berlari di sekitar taman, memetik banyak bunga yang berwarna-warni.
“Tunggu, Mas. Saya belum shalat. Bisakah kita shalat dahulu”, ucapku.
“Astagfirullohaladzim, saya pun lupa Mba. Baiklah kita shalat terlebih dahulu. Di sekitar sini ada mesjid”, ucapnya dengan raut wajah yang menyejukan hati.
Kami berjalan, melangkah di jalan yang penuh dengan pohon. Daun beguguran diterpa angin yang bertiup dengan begitu lembutnya. Kesejukan hati ini amat dapat kurasakan. Beberapa menit kami berjalan, kami pun tiba di sebuah mesjid. Subhanallah, mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang membaca Al Qur’an, ada yang sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi. Kami pun shalat berjamaah di sana.
Seusai shalat, kami berjalan-jalan kembali. Sesekali kami membeli dagangan yang ada di sekitar taman, seperti es krim, roti bakar, dan yang lainnya. Tempat singgah yang terakhir yaitu di bawah pohon yang amat rindang, di sebuah ayunan sederhana, kami duduk bersama.
“Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyaku padanya.
“Tak apa, aku hanya ingin merasakan bisa dekat denganmu saja”, jawabnya.
“Memangnya mengapa? Kau tak mengenalku bukan?”, tanya ku kembali.
“Tentu saja tidak. Tapi saat aku melihat wajahmu, sepertinya ada suatu hal yang kurasakan. Perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya”, jelasnya.
“Memangnya perasaan apa? Kamu itu memang aneh ya”, ujarku.
“Ternyata kamu itu bawel ya. Tapi bikin asyik juga” ucapnya tersenyum kembali.
“Maaf ya atas perlakuanku tadi”, ucapku menyesal.
“Sudahlah, tak usah terlalu difikirkan. Tak usah minta maaf, ekspresi wajahmu saat kau kesal padaku bukan membuatku kesal padamu. Aku malah ingin tersenyum sendiri bila mengingatnya”, ujarnya.
“Yah, gausah ngegombal lah. Eh iya, aku hampir lupa. Aku kan sedang dalam perjalanan menuju Malang. Ya Allah, tasku masih di dalam kereta. Pasti kereta telah meninggalkanku sejak tadi! Astagfirullohal’adzim”, ucapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku pun berlari meninggalkan lelaki itu. Dia memegang tanganku.
“Tak usah terburu-buru. Kamu masih punya waktu sekitar satu jam lagi” ucapnya seakan menghiburku.
“Satu jam lagi? Bagaimana bisa? Kereta pasti sudah berangkat dari tadi!” ucapku dengan nada cukup tinggi.“Memang sudah berangkat” ujarnya malah tersenyum.
“Terus, aku gimana? Ini dimana? Bagaimana aku bisa sampai ke Malang. Ditambah lagi barangku masih ada di kereta. Aku mau ke stasiun sekarang”.
Akupun berlari meninggalkannya. Dia mengejarku, aku berlari lebih kencang lagi sambil menangis. Aku takut, aku takut tak bisa sampai menuju cita-cita yang kutuju. Lelaki berkaos merah itu berhasil mengejarku.
“Mau kemana, Mba?” ucapnya khawatir.
“Tentu aku mau ke stasiun. Aku mau ke Malang. Kamu siapa berani mencegahku? Kamu mau menculikku?” teriakku padanya.
“Ya Allah Mba. Sabarlah dulu”, ucapnya semakin khawatir.
“Maaf Mas. Aku ketakutan”, ucapku kemudian terdiam.
“Tak usah takut Mba. Ada Allah SWT bersama Mba”, ujarnya. Aku terdiam.
 “Jangan khawatir Mba. Barang Mba sudah saya bawa. Pemberangkatan menuju Malang akan dimulai pukul 17.00. Tiket sudah saya pesankan. Nanti saya antarkan ke stasiun. Untuk sekarang izinkan saya menemani Mba sebelum jadwal pemberangkatan dimulai. Saya takut terjadi apa-apa pada Mba”, jelasnya dengan penuh perhatian.
“Benarkah?”, ucapku. Dalam tangisku aku tersenyum. Dia sungguh lelaki yang baik. Aku tak tahu siapa dia, tapi aku bisa merasa nyaman dengannya. Dia hanya mengangguk, setelah itu kami berjalan-jalan kembali ke tempat yang lebih menakjubkan lagi. Hingga akhirnya, jam menunjukan pukul 16.45. Aku harus segera ke stasiun.
“Terima kasih ya Mba atas hari ini”, ucapnya dengan wajah yang berseri-seri.
“Justru aku yang berterima kasih. Maaf telah merepotkanmu”, ucakpku.
Dia tak berkata apapun, hanya tersenyum kecil. Aku berdiri di pintu kereta. Perlahan kereta berjalan. Dia memberikan sehelai amplop, entah berisi apa. Senyumnya melebar. Aku semakin menjauh darinya. Seketika aku lupa menanyakan suatu hal. “Siapa namamu?” teriakku. Dia menjawab, namun tak terdengar olehku. Yang ada hanyalah tersirat senyum manis di bibirnya yang seakan terus mengikutiku saat di dalam kereta kemudian merasuki fikiranku. Aku melangkah menuju kursi dekat jendela kereta. Kubuka amplop yang dia berikan. Isi dari amplop itu adalah foto-fotoku saat berdiri di dekat pintu kereta. Ternyata memang benar, dia mengambil foto-fotoku. Aku tersenyum. Aku bisa merasakannya, merasakan kehangatan tangannya, lembut suaranya, dan senyuman menawan di wajahnya.
Perjalanan ini akan selalu kuingat, perjalanan terindah di dalam hidupku. Sejak saat itu, aku semakin merasakan indahnya hari-hariku. Aku tak tahu dia ada dimana. Yang pasti, untuk saat ini yang harus aku lakukan adalah menggapai cita-citaku. menjadi kebanggaan orang tuaku dan dapat menjadi manfaat bagi orang lain. Aku yakin, suatu saat dia akan datang kembali. Entah kapan, tinggal menunggu waktu yang tepat dari Sang Pencipta. Inilah keyakinan hatiku. Semoga kita dapat bertemu kembali, dengan kisah yang indah dan diridhai olehNya, semoga...

 Unsur-unsur Intrinsik
1.      Tema                     : Cinta / Kasih Sayang
2.      Alur                       : Maju
Karena peristiwa yang terjadi pada cerpen tersebut berjalan sesuai urutan waktu yang maju tanpa adanya cerita tentang peristiwa dio waktu yang sebelumnya/ yang pernah terjadi sebelumnya.
3.      Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama
Karena tokoh yang ada pada cerpen tersebut berperan sebagai “aku” yang merupakan tokoh utamanya.
4.      Penokohan :
1.  Lily: baik/ solehah, keras kepala, terkadang mudah marah, selalu bersikap suudzon.
2.  Ibu: perhatian dan penyayang.
3.  Ayah: lemah lembut dan penyayang.
4.  Pria berbaju merah:lemah lembut, penyayang, murah senyum, sopan santun dan romantis.
a.       Tempat      
1 di kamar, di ruang kamar,  di stasiun kereta, di taman bunga,di masjid,di bawah pohon.
b.      Waktu
11.  Dini hari
22.  Pagi hari
33. Siang hari
44.  Sore hari
c.       Suasana
11.  Sunyi
Di kesunyian, alarm berbunyi. Teralunkan musik merdu, terdengar bersemangat berjudul Sang Pemimpi.
2.  Nyaman
Asri, indah nan permai. Inilah salah satu tanda kekuasaanNya. Sesekali ku beranjak dari tempat dudukku, melangkah menuju pintu kereta. Angin berhembus, menerpa hijab biru mudaku, menggerakkan bibirku hingga akhirnya dapat tersenyum refleks, tanpa sadar. Di depan mataku terlihat sawah yang terhampar luas. Langit biru, bersama para awan dan juga burung yang beterbangan semakin memperindah suasana ini.
3.  Indah, menakjubkan
Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
4. Ramai
Subhanallah, mesjid yang megah dan indah. Para jamaahnya pun banyak, ada yang sedang membaca Al Qur’an, ada yang sedang duduk beristirahat, dan masih banyak lagi.
6.      Gaya bahasa          : hiperbola, sulit dimengerti
Gaya bahasa yang digunakan kebanyakan berupa gaya bahasa hiperbola, karena terdapat banyak kata yang sekan-akan dilebih-lebihkan agar terasa lebih dari biasanya, contohnya:
Tanpa aku sadari, aku telah berlari jauh dengannya hingga tiba di sebuah taman yang penuh dengan bunga. Keadaannya yang amat bersih dan asri membuatku terkesima tanpa batas. Aku tersenyum, terdiam, menengadah ke arah langit biru. Sungguh, inilah salah satu keindahan atas segala kekuasaanNya yang lain. Fatahmorgana alam yang begitu menyejukkan, jutaan warna yang berbeda, hidup membentuk sebuah kesatuan yang begitu luar biasa. Renunganku itu membuatku lupa akan segalanya untuk beberapa saat.
7.      Amanat     :
11.  Jangan berprasangka buruk terlebih dahulu kepada orang lain sebelum kita mengetahui kebenaran yang sebenarnya dari orang tersebut
22.  Jangan mudah marah kepada seseorang.
33.  Syukuri segala kekuasaan yang telah diberikan oleh Allah.

 Unsur-unsur Ekstrinsik
1.      Nilai yang terkandung pada cerpen
1   1. Nilai sosial
Interaksi atau komunikasi harus bisa dilakukan dengan baik agar tidak ada kesalahfahaman, contohnya yaitu yang diami oleh Lily dan lelaki berkaos merah yang beberapa kali mengalami kesalahfahaman.
2.  Nilai agama
Rasa suudzon seharusnya dihilangkan terlebih dahulu bila memang tidak mengetahui kenyataannya. Suudzon ini telah terjadi pada cerpen di atas yaitu dari Lily ke lelaki berkaos merah
3.  Nilai moral
Bersikap sopan sudah menjadi salah satu norma yang berlaku di lingkungan yang diceritakan pada cerpen. Salah satu contohnya yaitu berkata dengan lemah lembut dan selalu tersenyum
2.      Lingkungan pengarang
Sesuai dengan cerpen yang ditulis pengarang, kemungkinan keadaan lingkungan dari pengarang yaitu kehidupan yang religius, penuh norma dan sopan santun, serta kehidupan yang indah dengan suasananya.
3.      Identitas pengarang
Cerpen “Perjalanan Terindah” ini disusun oleh seorang pelajar asal Garut yang bernama Zulfa Fadila. Lahir di Garut tanggal 27 Oktober 1996 dari sepasang orang tua yang bernama Drs. Agus Juanda dan Ika Supartika. Zulfa merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Saat ini masih menjalani pendidikan di SMAN 2 Garut semester akhir. Zulfa merupakan alumni dari SMPN 1 Leles, SDN Leles 1 dan TK Pelita.
Zulfa bukan seorang penulis pada umumnya, dia hanya pelajar biasa. Hanya saja menulis sudah mulai menjadi hobinya saat di SMA, namun tidak begitu diperdalam. Zulfa hanya menyalurkan hobinya melalui cerita-cerita pendek yang ditulis pada entri blognya yang berjudul “Sebening Ketulusan Hati”. Dia aktif di beberapa organisasi di SMA namun tidak mempunyai prestasi yang begitu banyak. Harapannya untuk saat ini yaitu bisa melewati masa transisinya di kelas XII SMA, bisa melaksanakan UN dengan sukses, serta bisa diterima di perguruan tinggi negeri favoritnya yaitu di ITB jurusan teknik fisika. Untuk saat ini, dia belum bisa meneruskan posting atau berbagi cerita yang lainnya karena fokus akan tujuan jangka pendeknya saat ini.

Ringkasan Cerita
            Lily, seorang wanita yang solehah serta taat pada kedua orangnya tinggal di sebuah kota yang sederhana.Dia mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikannya ke Perguruan tinggi negeri yang ada di Malang. Dia berangkat sendiri ke Malang dengan menggunakan kereta api. Saat di jalan, dia bertemu dengan lelaki berkaos merah yang dia sangka bahwa laki-laki itu adalah lelaki asal kota yang amat angkuh. Sikap sinis dan pemarahnya mulai ia munculkan kepada lelaki itu.
            Namun ternyata lelaki itu tidak seburuk yang difikirkan oleh Lily. Lelaki itu bahkan amat baik, ramah, dan sopan serta perhatian. Saat kereta berhenti, lelaki itu membawa Lily ke berbagai tempat yang indah dan tak disangka. Seharian mereka menghasbiskan waktu bersama. Satu hal yang amat disayangkan, mereka bisa saling dekat namun itu hanya sementara.
            Setiap pertemuan tentu akan ada perpisahan. Mereka berpisah pada sore hari karena Lily harus meneruskan perjalanannya menuju Malang untuk menggapai cita-citanya. Walaupun lelaki berkaos merah itu tidak ia kenal, tapi dia bisa merasakan cinta yang tak biasa. Akhir yang tak begitu indah, mereka saling berpisah dalam keadaan tidak tahu nama masing-masing. Namun Lily yakin bahwa lelaki itu akan datang kembali dengan jalan Allah yang mungkin lebih indah dari perjalanan terindah yang dia lewati hari itu

AYU LESTARI
12 IPS 1